Senin, 27 Mei 2013

Belajar dari Sandal dan Peci

  Alkisah
Suatu malam, saat semua penghuni rumah sudah terlelap. Sandal jepit yang berada di luar rumah menggigil kedinginan.Tak pernah sekalipun ia diajak masuk oleh si empunya. Dengan tubuh kotor penuh debu, kadang lumpur, ia selalu dibiarkan tergeletak di depan. Rupanya, keluhan itu sempat di dengar oleh Peci yang tergantung di paku di dinding ruang tamu. Melihat rekannya yang berada diluar, Peci hanya tersenyum penuh kemenangan dan pura-pura tertidur tak mempedulikan Sandal Jepit yang mulaimenangis.
Dalam batinnya, Sandal berkata, sungguh enak menjadi Peci.Ia selalu ditempatkan diatas, dipakai atau tidak, tak pernah ia berada dibawah. Lain halnya dengan dirinya, dipakai terinjak-injak, tak dipakai tetap tersingkir di pojokkan, di tanah atau di lantai dingin. Setiap kali hendak digunakan, tuan pemilik selalu membersihkan Peci, tak satu pun debudibiarkan hinggap, dan sepulang diajak pergi, kembali dibersihkan dan diletakkan kembali ke tempat yang lebih terhormat, jika tidak diatas lemari, di dalam lemari, diatas buffet, paling rendah tergantung di dinding. Berbeda dengan nasib Sandal Jepit, dipakai tak pernah di bersihkan, sepulangny asemakin tak dipedulikan sekoto rapapun, mulai dari debu, sampai kotoran dengan aroma bau yang ta ksedap.
Kalaupun diajak pergi, Sandal tak pernah ketempat yang bersih, kepasar, kekebun, lapangan, atau ke toilet, Jelas saja, tuan pemilik akan lebih memilih sepatu atau sandal kulit untuk ke Mall, ke pesta, atau ke tempat-tempat yang memang bukan tempatnya Sandal berada disana. Tapi, Sandal juga dipakai jika tuan pemilikh endak ke Masjid. Entah ini penghormatan atausebaliknya buat Sandal Jepit karena jika nanti di Masjid iaharus berpindah kaki dengan orang lain alias hilang, toh tuan pemilik hanya berpikir, ”Untung cuma Sandal Jepit”. Sedangkan Peci, selalu dipakai ketempat kondangan, bahkan para pemimpin negeri, pejabat-pejabat penting Negara ini waji bmenggunakan Peci saat pelantikan dan acara-acara resmi, acara kehormatan kenegaraan.
Peci hamper tak pernah dipinjamkan kepada tuan yang lain, karena biasanya masing-masing sudah memiliki. Tapi Sandal, sekalipun ada beberapa, tak pernah ia diberikan kehormatan untuk mengabdi pada satu tuannya saja. Ia bisa dipakai tuan istri, tua nanak, atau juga pembantu. Tidak jarang, ia dipinjam kan juga ketetangga, atau teman, tuan dan anak. Kalau pun using dan berubah warna, Peci biasanya tak pernah dibuang. Disimpan dalam kardus di gudang dengan rapih, atau paling mungkin diberikan kepada anak-anak yatim atau siapa saja yang membutuhkannya. Intinya, masihbernila ipaska guna.Sandal Jepit?Jelek sedikit diganti, apalagi kalau sudahputus talinya, tidak adatempat yang paling pas kecuali tong sampah.Terkadang, ia juga harus merasakan kepedihan jika tubuhnya harus dipotong-potong untuk pengganti rem blong, atau dibuat ban mobil-mobilan mainan anak-anak.
Tapi Sandal tetap menyadari status dan perannya sebagai Sandal yang akan selalu terinjak-injak, kotor, dan tak pernah diatas. Sandal tak pernah iri dengan peran peci.Terlebih saat tuan pemilik berhadapan dengan Tuhannya, dan ditanya; “Mana dari dua barang milikmu yang paling seringkaugunakan, paling bermanfaat, Sandal Jepit atau Peci, yang akan kau bawa bersamamu kesurga?” Dengan mantap tuan pemilik menyebut Sandal Jepit jauh lebih memberikan manfaat baginya.
       Apabila suatu hari kita membeli sendal seharga satu juta, dimanakah letak sandal kita pakai dimanakah sedal tersebut kita pakai? Apakah karena yang harganya kelewat mahal ( bagi kebanyakan orang )  sehingga sandal itu perharus kita taruh diatas kepala( disunggi;jawa).Atau agar tidak pudar warnanya dan selalu tampak baru sehingga kita perlu membungkus sendal tersebut dengan kantong plastik? Jawabannya tentu tidak, karena sandal itusendiri sudah “nerimo” dengan takdir fungsionalnya.
 Apakah pernah kita melihat seorang memakai sandal namun tidak menyentuh tanah? Seperti itu saat ini mungkin hanya terjadi di dunia khayal, negeri antah berantah atau film. Betapapun mahal harganyasebuah sandal ia akan tetap berada di bawah, dan langsung bersentuhan dengan tanah.
Sebab itulah “tempat yang tepat” baginya. Bukan karena harganya yang mahal kemudian berubah maqam menjadi di letakan yang lebih tinggi. Justru peletakan tersebutmenjadikan nilai guna sandal semakin berkurang, atau bahkan nihil.
Bagaimana kalau bendnya kita rubah menjadi peci.  Kita beli peci dengan harga yang tidak lebih dari sepuluh ribu misalnya. Atau dalam kalimat lain kita peroleh secara gratisan. Lalu bagimana kita meletakan peci ketika kita memakainya?
Apakah karena gratis, tidak bayar kita cukup masukan kedalam saku celana, sama dengan seperti kasus sendal, jawabnya “tentu tidak”,peci itu berada diatas karena fungsinya. Bukan karena harga jual atauatau belinya.
Dari sendal kita belajar bahwa hakikat kemuliaan bukanlah karena tingginya posisi. Kemuliaan itu hadir ketika kita menjalankantugas sesuai dengan ketentuan yang ada secara profesional dan total.
Berada dibawah tidak menyenyebabkan kita merasa hina. Sebab posisi yang sejati sejati (khususnya di mata Allah)yang membedakan hanyalah derajat ketaqwaannya.
Dari narasi kita dapat belajar bahwa kehidupan tidakbisa di pandang sebelahmata, tetapi harus lengkap dan komprehensif.
Dari peci kita belajar bahwa posisi tinggi  tidak selamanya sejalan dengan  subtansi.
Ahirnya semua kembali pada pribadi masing- masing, bagaimana menyikapi dan menyadari akan fungsi dan perannya masing-masing
Saudaraku, tak penting apa status, peran dan fungsi Anda di duniaini, karena Allah, Rasul dan manusia beriman tak melihat Anda dari pakaian yang dikenakan, jabatan yang tersemat, dan kehormatan yang disandang, tapi seberapa bermanfaatnya Anda bagi orang lain dengan status dan peran Anda tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, "Khairunnaasanfa’uhumlinnaas", "Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan Kahlil Gibran dalam bukunya yang berjudul Taman Sang Nabi juga mengatakan bahwa, di pepohonan, buah tak pernah berkata kepada akar ; " jadilah seperti aku, yang masak dan ranum ini, dan memberikan kelimpahan hasilnya." Sebab bagi buah, memberi adalah kebutuhannya, sedang bagi sang akar, menerima adalah kebutuhannya.
          Jika demikian, bukan hal penting untuk mempertanyakan status dan jabatan penting apa yang akan kita sandang saat ini dan nanti, tetapi yang terpenting adalah mempertanyakan, seberapa bias kita berbuat baik dan bermanfaat bagi banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar